SEJARAH BLUSUKAN DARI SOEKARNO KE JOKOWI

SEJARAH BLUSUKAN

DARI SOEKARNO KE JOKOWI

Istilah Blusukan adalah istilah yang dikenal dalam bahasa Jawa dialek Solo, kadang-kadang banyak orang tidak membedakan antara kata Blusukan dengan Keblasuk, Blusukan adalah ‘Perjalanan ke tempat-tempat jauh’ sementara Blasuk dalam bahasa Jawa dialek Solo artinya ‘Kesasar’.

Budaya Blusukan bagi Raja-Raja Jawa memang dikenal dan ini sama terkenalnya dengan budaya laku pepe bagi rakyat Jawa, bila ‘Laku Pepe’ adalah ‘minta perhatiannya rakyat’ pada pemimpinnya dengan duduk di bawah pohon beringin yang biasa di alun-alun, maka‘Blusukan’ adalah gaya pemimpin Jawa dalam melihat kondisi rakyatnya.Dalam konsep kepemimpinan Jawa penyatuan antara roh kepemimpinan dengan keinginan rakyat itu mengalir dalam satu irama kerja seorang Raja, tapi tidak semuanya Raja bisa mengangkat irama itu.

​Raja Jawa yang paling terkenal suka blusukan adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Raja Yogyakarta terbesar ini berkuasa cukup lama dari tahun 1940 sampai tahun 1988. Salah satu yang membuat dia populer adalah semangat kerakyatannya.Ia menyatukan kepemimpinannya dengan ‘rasa penderitaan rakyat’, ia terus memantau apa mau-nya rakyat, apa keinginan rakyatnya dan yang terpenting kemampuannya membaca jaman.

Di tahun 1942 ketika Jepang masuk, ada agenda Jepang bahwa rakyat Yogyakarta harus ikut agenda Romusha untuk memperluas lapangan terbang Maguwo dan sebagian akan dibawa ke Burma. Namun Sri Sultan menolak halus pada Jepang dengan mengatakan rakyatnya diperlukan untuk membangun irigasi yang kelak disebutnya sebagai ‘Selokan Mataram’.

Irigasi ini melibatkan tenaga-tenaga muda yang kemudian terhindar dari kewajiban ‘budak perang’ Jepang itu.  Sri Sultan juga kerap melakukan blusukan, ia mengunjungi pos-pos rakyat, mengunjungi warung-warung rakyat, ia berada di tengah persawahan Yogya, mendengar apa yang diinginkan rakyat Yogya. Sri Sultan HB IX kerap blusukan dan suka makan di warung-warung rakyat,

Dari gaya kepemimpinan Sultan HB IX inilah kemudian lahir adagium yang terkenal “Tahta Untuk Rakyat”.Konsep Tahta Untuk Rakyat dihasilkan dari tukar pikiran antara Sri Sultan dengan Selo Soemardjan, Frans Seda dan beberapa penasehat Raja di Kepatihan, kalimat itu menurut Selo Soemardjan lahir pada tahun 1952. Hal ini menjadi aturan dalam cara menjalani kepemimpinan di masa Sri Sultan HB IX.

Sri Sultan memerintahkan Kepatihan terus memperhatikan kehidupan rakyat, mulai dari keamanannya sampai tingkat produksi masyarakat seperti Pabrik Perak di Kotagede, Usaha Transportasi di Pasar Gede, Usaha-Usaha Pegadaian sampai pada Paguyuban-Paguyuban Tani. Sultan sendiri sering langsung inspeksi ke Pasar dan melihat bagaimana harga-harga berkembang, bahkan ada kejadian lucu dimanaSultan sendirian menginspeksi dikira Sultan sebagai sopir truk dan disuruh angkut beras oleh salah satu pedagang pasar.Kejadian ini merupakan cerita rakyat terkenal di Yogya.

Lain Sri Sultan, Lain Bung Karno. Presiden Pertama Republik ini juga suka blusukan, di masa muda ia sering bersepeda jauh kesana kemari, ia sangat kuat sekali bersepeda.Sukarno bisa bersepeda ratusan kilometer, ia pernah bersepeda dari Bandung sampai Tasikmalaya, atau ke pinggiran kota Bandung. Dalam blusukan Sukarno sering bertanya pada penduduk desa, ngobrol, mencatat dan merasakan bagaimana kehidupan rakyat, kegemaran blusukan ini berlanjut sampai Sukarno menjadi Presiden.

Saat Istana Presiden di Yogyakarta, salah satu kegemaran Sukarno adalah berjalan-jalan di persawahan Yogyakarta, yang dulu mengawal saat Sukarno blusukan adalah Latief Hendraningrat, Kanapi, Mangil dan Dokter Suharto. Sukarno kadang berlama-lama di rumah rakyat untuk mengetahui kehidupan mereka.Setelah tahun 1950, Bung Karno senang blusukan ke berbagai daerah, tapi yang kerap ia lakukan adalah incognito. Pernah suatu saat Sukarno blusukan ke Pasar Senen, lalu Bung Karno duduk di depan tukang sate ayam. Saat rakyat mendengar suara Sukarno bicara pada tukang sate ayam, beberapa orang di Pasar mengenalinya dan berteriak “eh, itu kan bapak…itu kan bapak…” lalu beberapa orang mengerumuni dan pasar tiba-tiba menjadi gaduh.

Bung Karno amat menyukai kebersihan kota dan senang mengontrol monumen-monumennya. Ia amat mencintai Jakarta, salah satu obsesinya adalah Jakarta menjadi kota yang berbudaya. Bung Karno sering naik Jeep Hardtop dan keliling Jakarta ditemani beberapa orang mengontrol kota Jakarta, penentuan Jalan Sudirman sebagai central bisnis sebenarnya ditetapkan saat Bung Karno duduk di tepi jalan dekat kampung Senayan, saat blusukan Sukarno terbayang gambar daun semanggi di pikirannya, lalu ia teringat jembatan besar di Amerika Serikat, dari sinilah Sukarno kemudian terinspirasi membangun Jembatan Semanggi, yang sampai saat ini masih jadi Jembatan Jalan Raya terindah di Indonesia.

Sukarno juga merencanakan Boulevard Sudirman sebagai pusat bisnis sampai Jalan Thamrin dan kemudian di seputaran Monas adalah gedung-gedung milik negara.Yang ditanyakan Sukarno saat blusukan biasanya soal-soal kehidupan sehari-hari, ada satu cerita dimana Bung Karno menyelidiki sendiri penyebab langka-nya beras di Jakarta, ia langsung blusukan mengontrol gudang beras bersama Gubernur Jakarta saat itu, Henk Ngantung.

Kini blusukan melekat pada diri Jokowi, banyak yang merasa iri dengan popularitas Jokowi ketika Blusukan, karena tokoh lain tidak mendapatkan sambutan rakyat banyak dalam blusukan. Kenapa Jokowi mendapatkan sambutan yang luar biasa dalam blusukan, karena Jokowi melakukan dengan rasa tulus, Jokowi mempunyai kesenangan bertemu dengan orang, ia genuine dalam segala tindakannya dalam blusukan.Dan ini yang tidak dipunyai hampir semua tokoh saat ini dalam seni blusukan, Jokowi melakukannya dengan otentik, dia menemui rakyat sebagai ‘pribadinya sendiri’ yang lahir dari kegelisahan rakyat. Itu yang membedakan

​SUMBER : -Anton DH Nugrahanto-.

Tag: Charles Honoris

Tinggalkan komentar